Seperti biasanya,
suasana kota Yogyakarta pagi itu cukup ramai dengan mereka yang ingin memulai
aktivitasnya masing – masing. Banyaknya kendaraan yang berlalu lalang serta
para pejalan kaki yang memilih untuk tidak menggunakan kendaraan dalam
aktivitasnya menambah kepadatan suasana kota Yogyakarta kala itu. Terutama
ketika melewati perempatan maupun pertigaan lampu lalu lintas. Banyak sekali
dijumpai bermacam – macam seniman jalanan dari berbagai usia mulai dari yang
berusia dewasa hingga anak kecil sekalipun. Mereka sudah berusaha mencari
nafkah dari pagi meskipun dengan caranya yang beraneka ragam. Bernyanyi dari
satu kendaraan ke kendaraan lain, berjoget untuk menghibur para pengguna jalan,
memainkan berbagai macam seni tradisional Indonesia (seperti kuda lumping
contohnya), hingga hanya memainkan alat musik sederhana sekalipun mereka
lakukan demi mencari sesuap nasi.
Kini pemandangan – pemandangan seperti halnya seniman –
seniman jalanan hingga pengemis pun sudah sangat sering dijumpai diberbagai
sudut jalan. Sudah tidak asing lagi apabila melihat banyaknya para masyarakat
minoritas yang mencari nafkah dijalanan, bahkan anak dibawah umur pun sudah
mulai dipaksa untuk ikut mencari nafkah untuk dirinya dan keluarganya. Sangat
memprihatinkan melihat anak yang seharusnya menuntut pendidikan dibangku
sekolah justru malah berkeliaran dijalan, mendatangi satu kendaraan ke
kendaraan lain, serta meminta belas kasihan para pengguna jalan untuk
mendapatkan sesuap nasi.
Terlihat banyak sekali anak – anak dibawah umur yang
berkeliaran diajalanan mencari uang untuk makan mereka hari itu. Hal tesebut
sungguh sangat menggunggah hati para pengguna jalan terutama ketika ada yang
bertanya mengapa mereka berada disana dan bukannya berada dibangku sekolah,
justru mereka dengan polosnya menjawab, “bagaimana bisa saya bersekolah jika
untuk makan saja saya masih harus bersusah payah untuk mendapatkannya”. Jawaban
yang singkat namun mampu menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Namun apapun
alasan mereka, tidak seharusnya mereka berada dijalanan untuk mencari nafkah
karena belum saatnya anak seusia mereka melakukan hal tersebut. Pendidikan yang
seharusnya menjadi prioritas utama mereka justru malah mereka kesampingkan demi
pekerjaan yang bukan selayaknya mereka lakukan.
Terkadang, pihak orangtua bukannya melarang mereka untuk
mencari nafkah justru malah memaksa mereka untuk melakukan hal tersebut.
Orangtua yang menganggap pendidikan tidaklah lebih penting dari uang seringkali
memperbudak anak – anaknya untuk membanting tulang mencari nafkah demi
kebutuhan sehari – hari keluarga mereka. Pernah suatu hari terlihat seorang
anak mengeluh kepada orangtuanya atas perilaku tersebut. Anaknya berkata,
“kenapa harus saya yang bekerja seperti itu, bu? Saya ingin bersekolah
selayaknya anak – anak lain seusia saya.” Dan dengan cueknya sang ibu menjawab,
“kalau memang kamu ingin sekolah, carilah uang yang banyak dan jangan
membantah!”
Hal seperti ini haruslah menjadi perhatian pemerintah
saat ini. Para anak – anak yang seharusnya berada dibangku pendidikan justru
malah berkeliaran luntang lantung dijalanan mencari segelintir uang untuk makan
sehari – hari. Bagaimana mungkin negeri ini bisa maju jika para bibit penerus
bangsa saja tidak dapat merasakan pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan.
Disinilah peranan pemerintah harus diciptakan. Bukan hanya sekadar perihatin,
namun juga seharusnya pemerintah menegaskan kebijakan yang menjadikan anak –
anak jalanan tersebut berada dibangku pendidikan bukannya justru malah berada
dijalanan. Tanpa mereka, Indonesia akan kehilangan bibit – bibit penerus bangsa
dimasa depan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar